Waktu nonton ini di bioskop, ekspektasi di kepala sudah pada level
paling bawah. Hampir nggak mungkin filmnya bakal bagus. Alasannya ada dua.
Pertama, Jurassic Park itu sebetulnya sudah selesai sejak film pertama. Tuntas, beres, kelar. Nggak ada lagi yang
perlu diceritain. Memangnya apalagi yang bisa dilakukan dinosaurus-dinosaurus
ini? Kita udah lihat semuanya. T-Rex ngamuk. Raptor menerkam manusia-manusia
figuran. Si dino yang itu makan daun, si dino yang ini minum air, si dino yang
di sana… well…berdiri. What else?
Itu sebabnya dua sekuel yang muncul kemudian nggak ada yang istimewa.
The Lost World masih lumayan, tapi JP III benar-benar kacau balau. Ketika Alan
Grant ketiduran di pesawat lalu kebangun gara-gara ada Raptor manggil-manggil
namanya dia, kita yang nonton scene mimpi absurd ini pun bertanya-tanya,
apakah penulis skrip aslinya udah mati dimakan raptor, dan apakah sekarang
cerita dari film ini dilanjutkan oleh seekor reptil?
Alasan kedua adalah bocoran-bocoran yang muncul sebelum JW (Jurassic World) keluar
bilang kalau film keempat ini akan menghadirkan dua ide yang sekilas terdengar
tidak pintar, yaitu:
- Antagonisnya adalah spesies baru hasil rekayasa genetik, campuran dari berbagai macam dinosaurus and hewan-hewan lain.
- Raptors berkawan dengan manusia.
Kenapa dua ide ini nggak pintar? Premis membuat spesies baru hasil
eksperimen lab dengan menggabung-gabungkan hewan lain itu kedengeran seperti skenario film-film kelas B murahan. Tahu Sharktopus? Atau film apa tuh yang
piranha-piranha berkaki? Yah, nggak ada yang salah sih dengan film-film itu.
Saya juga penonton setia dari film-film monster absurd macam itu. Cuma ciri
khas dari film kelas B adalah dia harus ditonton setelah sebelumnya kau taruh
dulu otakmu di kulkas. Karena nggak bakal ada cerita masuk akal di sini. Kita
nonton cuma karena pengen lihat orang dimakan sama monster (sambil kita ngemil
Chitato). Nah, pertanyaannya, mosok Jurassic World yang kisah muasalnya adalah
fiksi sains brilian bakal turun kasta jadi film semacam itu? Apa kata Michael
Crichton di alam kubur?
Ide membuat raptors jadi jinak juga bermasalah. Kekuatiran terbesarnya
adalah kalau film ini bakal jadi semacem Free Willy, atau Air Bud. Orang-orang
dulu suka sama JP gara-gara tertarik dengan sosok Raptors yang menakutkan, yang
berburu berkelompok dan suka makan orang hidup-hidup dengan mengoyak perut
terlebih dulu. Jadi akan menyedihkan kalau sekarang hewan-hewan ini muncul lagi
and ternyata jadi semacam chihuahua.
Tapi hey, filmnya ternyata melebihi ekspektasi. It’s actually good! Jauh
lebih baik daripada sekuel-sekuel sebelumnya. Jadi, mari kita lihat, apa ya
yang membuat dia bisa keluar dari jebakan ide konyol dan menyulapnya jadi tontonan
yang seru dan menarik? Paling tidak, menurutku, dua poin masalah yang udah
disebutin sebelumnya bisa mereka jawab
dengan satu muara: do not take any
shortcuts. Jangan ambil jalan pintas dalam bercerita, terutama jika idemu rada-rada bizzare.
Jika ingin menghadirkan suatu plot yang ide besarnya saja sudah bikin orang
lain menaikkan alis mata, kau harus telaten menguraikannya sampai ide itu
terasa makes sense.
Indominus Rex adalah Konsekuensi Logis
Di sini sebenarnya ada jalan pintas yang bisa diambil untuk menjelaskan
Indominus Rex. Kenapa kok bisa diciptain suatu makhluk baru separo T-Rex,
lebih ganas dari T-Rex, lebih besar, bisa kamuflase dengan alam sekitar, cerdas, and
kejam? Kenapa perlu ada?
Jalan pintas ini misalnya dengan menjelaskan kalau Indominus Rex lahir gara-gara
taman mempekerjakan seorang ilmuwan nyentrik gila yang punya fantasi untuk
nyiptain monster paling bangsat yang pernah ada. Apa alasannya? Ya, karena dia
gila. Udah.
Tapi JW jeniusnya tidak mengambil jalan yang itu. Dia dengan sabar memilih
jalur lain, lebih panjang, yang menceritakan alasan sebenarnya adalah
ketakutan pengelola taman akan tingkat kunjungan yang terus menurun. Taman
perlu atraksi yang lebih dahsyat, hewan yang lebih serem, lebih besar, lebih
ganas. Maka, rekayasa genetik pun dikerjakan.
Lalu kemampuan-kemampuan Si I-Rex (hehe) ini pun semua dijelaskan bukan
karena pembuatnya iseng, tapi lebih pada akibat-akibat tak direncanakan dari
usaha menutupi kelemahan alamiah rekayasa genetik. Misalnya, kemampuan
kamuflase tak pernah direncanakan. Tapi ternyata dia muncul gara-gara ada gen
cumi-cumi yang dulu dimaksudkan buat mempercepat pertumbuhan. Interesting, eh?
Jadi JW berhasil meyakinkan kalau I-Rex memang makes sense buat dilahirkan di taman. Dia ada karena suatu tujuan
yang jelas, dan berubah jadi bencana karena alasan yang masuk akal.
How To Train Your Raptors?
Soal Raptors, JW juga punya pilihan untuk mengambil jalan pintas.
Mungkin pengelola taman menemukan cara untuk menghilangkan elemen agresivitas,
atau dengan memberi kode genetik tertentu sehingga mereka nggak doyan manusia,
atau bisa juga dengan perkawinan-perkawinan silang hingga mencapai suatu
spesies yang domesticated. Itu semua
masuk akal. Manusia pernah mengubah serigala-serigala jadi anjing rumahan. Maka
kita juga bisa-bisa aja mengubah Raptors jadi Pokemon.
Tapi JW sekali lagi nggak memilih jalan pintas. Dia malah mengadopsi apa
yang terjadi di alam liar buat diterjemahin ke interaksi antara Owen Grady, si
mantan marinir, dengan keempat raptors dalam pengawasannya. JW mengambil
interaksi yang biasa terjadi di komunitas hewan predator berkelompok seperti
serigala atau orca, untuk menggambarkan hubungan antara Owen dengan para
Raptors. Owen hanya akan dihormati jika dia bisa menunjukkan kalau dia memang
si alpha, atau pemimpin kelompok. Kalau sedikit saja Owen ragu atau kelihatan
lemah, maka dia mati. Ini dinamika yang sangat menarik, dan benar-benar membuka kemungkinan-kemungkinan baru
akan relasi manusia dengan dinosaurus yang bisa terus digali. Akhirnya memang nggak semudah itu menjaga hubungan dengan Raptors, karena
watak alamiah mereka yang liar. Ini yang membuat ceritanya menarik.
Gali, gali dan gali
Pembuat cerita yang baik perlu sabar untuk menjabarkan apa-apa aja yang
mau dia ceritakan. Kadang-kadang sebuah cerita berawal dari ide yang keren tapi
hasil akhirnya buruk gara-gara gagal diuraikan. Kegagalan itu biasanya terjadi
gara-gara penulisnya tergesa-gesa dalam membuat penjelasan dan akhirnya memilih
jalan pintas.
Kesabaran dalam menggali lebih dalam lagi bisa membuat ide yang
biasa aja menjadi istimewa. Bahkan di kasus JW ini kita bisa lihat gimana ide
yang konyol ternyata bisa jadi bagus.
Jadi, terus gali, kawan.
No comments:
Post a Comment