Kali ini ThrillerID akan mewawancarai seorang penulis thriller yang
baru saja meluncurkan karya terbarunya berjudul "Tiga Sandera
Terakhir". Novel terakhirnya ini adalah sebuah thriller militer yang bercerita tentang pasukan khusus militer Indonesia yang melakukan operasi sangat
rahasia di pedalaman Papua untuk membebaskan sandera. Bukunya bagus, lho!
ThrillerID sudah mengulasnya di
link ini.
Brahmanto Anindito, Penulis Tiga Sandera Terakhir |
Thanks to Mas Brahm yang sudah meluangkan waktu buat
ThrillerID. Sila disimak perbincangannya di bawah ini:
============
Hai, Mas Brahm. Selamat untuk novelnya "Tiga Sandera
Terakhir". Thriller militer yg keren! Biasanya sih, kalo interview,
pertanyaan pertama, pasti pada nanya inspirasi dapat darimana. Tapi, di buku "Tiga Sandera Terakhir" Mas
Brahm dah cerita detil soal itu pada halaman pengantar, hehe. Jadi sekarang, pertanyaannya: berapa lama riset, dan pengerjaan dari awal sampai naskah jadi?
Terima kasih. Di microsite Tiga Sandera Terakhir (www.warungfiksi.net/tiga-sandera-terakhir)
juga ada informasi tambahan, lho. Kalau ada waktu, monggo dibaca-baca.
Yang jelas, ide besar cerita ini sudah digulirkan sejak pertengahan 2012. Garapnya aja yang lama. Karena, temanya lebih sulit dibanding novel-novelku sebelumnya, risetnya lebih memeras otak, beberapa kali vakum buat nunggu jawaban atau sekadar izin wawancara yang belum tentu dikabulkan, bolak-balik mengubah outline. Belum lagi, sejak akhir 2013 suhu politik mulai tinggi gara-gara pilpres. Aku emoh novelku dianggap mendukung calon tertentu, Bro! Sehingga, terpaksa vakum dulu.
Draft pertama baru kelar pada medio 2014. Setelah itu, diskusi dengan editor-editornya, revisi, editing ejaan dan bahasa, terus masuk antrean percetakan. Akhirnya, nongol deh pada Juni 2015. Nah, saat itu, pilpres sudah selesai, kan? Sudah tenang. Sebuah karya pun sudah tidak relevan lagi bila dituduh sebagai bagian dari kampanye politik pihak tertentu, hehehe....
Yang jelas, ide besar cerita ini sudah digulirkan sejak pertengahan 2012. Garapnya aja yang lama. Karena, temanya lebih sulit dibanding novel-novelku sebelumnya, risetnya lebih memeras otak, beberapa kali vakum buat nunggu jawaban atau sekadar izin wawancara yang belum tentu dikabulkan, bolak-balik mengubah outline. Belum lagi, sejak akhir 2013 suhu politik mulai tinggi gara-gara pilpres. Aku emoh novelku dianggap mendukung calon tertentu, Bro! Sehingga, terpaksa vakum dulu.
Draft pertama baru kelar pada medio 2014. Setelah itu, diskusi dengan editor-editornya, revisi, editing ejaan dan bahasa, terus masuk antrean percetakan. Akhirnya, nongol deh pada Juni 2015. Nah, saat itu, pilpres sudah selesai, kan? Sudah tenang. Sebuah karya pun sudah tidak relevan lagi bila dituduh sebagai bagian dari kampanye politik pihak tertentu, hehehe....
Kalau kuperhatikan yah, tema ini sebenarnya, kan, sensitif,
karena menyangkut masalah politik yang beneran ada dan masih berlangsung
(separatis Papua). Apa nggak ada kekuatiran kalau ini bakal kontroversial?
Misalnya dituduh menyinggung SARA, dll? Gimana Mas mengakalinya?
Ah, nggaklah. Dalam novel, nggak ada usaha menyindir atau
menjelek-jelekkan suku atau ras tertentu, kok. Kalaupun ada, itu kan opini dari
seorang tokoh. Bukan ide keseluruhan cerita. Pesan besar novel ini justru
"kemanusiaan", "persatuan", "perdamaian", dan
"ajakan untuk sama-sama memajukan Papua".
Tentu kita tidak bisa memuaskan seluruh kalangan pembaca.
Kalau Tiga Sandera Terakhir dibaca orang OPM, mungkin mereka menuduhnya sebagai
propaganda TNI. Di lain sisi, salah satu narasumberku yang pro-NKRI protes,
"Tapi ya TNI jangan dibikin seperti ini, dong! Dukung, dong, negara
sendiri!" Terus, editorku juga bilang, "Brahm, kamu ini pendukung
idealisme OPM, ya?"
Lho, jadi ini bagaimana? Aku ini pro-OPM atau pro-NKRI, sih?
Aku mah apa, atuh? Hahaha.... Tapi sejujurnya, aku cuma ingin menulis dengan
cara jurnalis memandang dunia. Diusahakan obyektif dan tidak berpihak. Toh pada
akhirnya, ceritaku berangkat dari peristiwa dan tokoh-tokoh riil. Bahkan
beberapa adalah dialog-dialog riil! Selama masa riset pun aku mencoba memahami
peristiwa penyanderaan oleh OPM itu dari dua sudut pandang yang berlawanan.
Dari berbagai versi cerita. Lalu, ditambah bumbu entertainment, jadilah Tiga
Sandera Terakhir.
Mengakali supaya tidak dituduh SARA? Mengakali sih mustahil,
ya. Aku hanya bisa meminimalkan. Caranya? Ya seperti cara orang-orang
Hollywood: Kalau ada tokoh busuk dari ras tertentu, hadirkan pula tokoh baik
dari ras itu. Kalau tokoh dengan agama tertentu di-set sebagai antagonis, ya
imbangi dengan tokoh beragama itu sebagai protagonis.
Ide nasionalisme Indonesia kental banget di sini. Pembaca
akan bisa menilai kalau penulisnya memang menggiring ke situ. Apa Mas Brahm
memang sengaja begitu? Dalam novelnya akan selalu mengangkat nasionalisme?
Sebenarnya, baru kali ini lho aku menulis berkaitan dengan
nasionalisme. Itu pun bukan sengaja. Aku penasaran dan tertantang menulis
thriller militer. Kalau sudah berkaitan dengan orang-orang militer, mau apa
lagi, tokoh-tokohnya mikirnya ya "nasionalisme",
"patriotisme", "NKRI", "kepahlawanan", "rela
binasa demi negara", dan hal-hal semacam itu, bukan?
Tapi, apa novel-novelku berikutnya akan selalu begini? Tidak
selalu. Tergantung mood, hahaha....
Boleh cerita, bagaimana cara membangun
karakter-karakternya Mas? Karena di TST ini ada tokoh-tokoh yang unik dan menarik.
Misalnya Kolonel Nusa, lalu Kresna, dan ada juga Nona, cewe Papua yang
trengginas juga.
Standar aja, kok. Kasih "identitas KTP", gambarkan
fisiknya, sifat-sifatnya, bayangkan siapa dia di dunia nyata (bisa hasil
modifikasi dari seorang teman, tokoh masyarakat, artis, atau murni imajinasi
kita), lalu letakkan dia dalam alur dan bayangkan bagaimana perilakunya dalam
situasi seperti itu. Jadi, deh!
Mas Brahm tipe penulis yang bikin outline dulu apa nggak?
Apakah semuanya sudah terencana, atau Mas nulis mengalir saja?
Bikin, dong. Aku kan nggak jago "ndongeng mengalir
spontan" seperti Stephen King. Outline bagiku seperti peta. Tanpa peta,
aku bisa tersesat dan nggak sampai-sampai. Wong dengan peta aja aku masih suka
muter-muter, entah itu karena memang pingin mampir sana-sini atau benar-benar
tersesat.
Siapa penulis yang paling disukai dan paling berpengaruh
dalam kepenulisan Mas?
Ini pertanyaan berat dan maaf kalau hanya bisa kujawab,
"Entahlah." Aku suka Stephen King, Dan Brown, Anne Rice, Bram Stoker,
Clara Ng, Dahlan Iskan, M. Fauzil Adhim, dll. Tapi tidak semua karya mereka aku
suka. Dan aku juga tidak ingin menulis dengan gaya seperti mereka. Aneh, ya?
Sisipan-sisipan humor dalam dialog tokoh-tokoh di TST juga menarik. Ada treatment khususkah soal ini? Apakah terinspirasi dari dialog-dialog
yang beneran pernah didengar? Atau spontan mengalir saja? Soalnya suka pas
banget momennya. Misalnya soal debat klub sepakbola itu, dan juga soal nama
kode tim penyerbu di babak akhir.
Hihihi, itu hanya buah dari berkali-kali membaca ulang
naskah, sehingga sesekali muncul ide, "Kalau dibikin gini, rasanya lucu,
kali ya! Kalau ditambahi gini, rasanya adegannya jadi lebih segar,
nih...." Gitu aja.
Ada komentar soal genre thriller di novel Indonesia?
Masih sepi penggemar, mungkin. Pembaca kita seperti takut
membaca sesuatu yang "mengerikan", yang bikin terbawa sampai mimpi. Nggak
pa-palah, biar pun akibatnya adalah royalti yang tidak bisa diandalkan untuk
hidup, hahaha....
Boleh kasih bocoran ke pembaca, apa nih proyek penulisan
berikutnya?
Ada beberapa. Ada yang settingnya di Papua lagi, di Blora,
di Semarang, atau di Kalimantan. Tapi yang sudah 20 persen, novel thriller
berlatar Blora, kota kelahiran Pramoedya Ananta Toer. Ini cerita dengan tokoh
anak SD yang secara tiba-tiba.... ah, kapan-kapan saja ceritanya. Hehehe....
Okeeh. Sementara itu dulu Mas. Terima kasih atas waktunya.
Sukses untuk tulisan berikutnya!
Sama-sama, Bro Ade. Oh ya, aku mengajak teman-teman penulis
dan pembaca di ThrillerID untuk selalu saling bertukar ilmu dan saling
mendukung. Demi semarak dan bervariasinya dunia literasi Indonesia. Juga demi
kondusifnya iklim thriller di Indonesia.